Upaya Peningkatan Kesadaran Terhadap Lingkungan
. Dari aneka macam tantangan yang dihadapi dari perjalanan sejarah umat manusia, kiranya mampu ditarik selalu benang merah yang mampu dipakai sebagai pegangan mengapa insan “survival” yaitu oleh karena teknologi.
Teknologi memberikan kemajuan bagi industri baja, industri kapal maritim, kereta api, industri kendaraan beroda empat, yang memperkaya peradaban insan.. Teknologi juga bisa menghasilkan welirang dioksida, karbon dioksida, CFC, dan gas-gas buangan lain yang mengancam kelangsungan hidup manusia akhir memanasnya bumi balasan efek “rumah kaca”.
Teknologi yang diandalkan sebagai istrumen utama dalam “revolusi hijau” mampu meningkatkan hasil pertanian,- alasannya adanya bibit unggul, bermacam jenis pupuk yang bersifat komplemen, pestisida dan insektisida. Dibalik itu, teknologi yang sama juga menghasilkan aneka macam jenis racun yang berbahaya bagi insan dan lingkungannya, bahkan balasan rutinnya dipakai berbagi jenis pestisida ataupun insektisida bisa memperkuat daya tahan hama tananam misalnya wereng dan kutu loncat.
Teknologi juga memberi rasa kondusif dan kenyamanan bagi insan balasan bisa menyediakan berbagai kebutuhan mirip tabung gas kebakaran, alat-alat pendingin (Iemari es dan AC), banyak sekali jenis aroma parfum dalam kemasan yang menawan, atau abat anti nyamuk yang simpel untuk disemprotkan, dan sebagainya. Serangkai dengan proses tersebut, ternyata CFC (chlorofluorocarbon) dan tetrafluoroethylene polymer yang dipakai justru mempunyai donasi bagi menipisnya lapisan ozone di stratosfer.
Teknologi memungkinkan negara-negara tropis (terutama negara berkembang) untuk memanfaatkan kekayaan hutan alamnya dalam rangka meningkatkan sumber devisa negara dan berbagai pembiayaan pembangunan, tetapi balasan yang ditimbulkannya merusak hutan tropis sekaligus banyak sekali jenis flora berkhasiat obat dan bermacam-macam jenis fauna yang langka.
Kemajuan Teknologi
Bahkan balasan kemajuan teknologi, kala sibernitika yang mengglobal mampu dikomsumsi oleh negara-negara miskin sekalipun alasannya adalah kemampuan komputer sebagai intrumen gosip yang tidak memiliki batas ruang. Dalam hal ini, jaringan Internet yang dapat diakses dengan biaya yang tidak mahal menghilangkan titik-titik pemisah yang diakibatkan oleh jarak yang saling berjauhan. Kemanjuan teknologi sibernitika ini meyakini ekonom Peter Drucker (Toruan, dalam Jakob Oetama (ep.) 1999:35, bahwa kemajuan yang telah dicapai oleh negara maju akan mampu disusul oleh negara-negara berkembang, terutama oleh menyatunya negara maju dengan negara berkembang dalam blok perdagangan.
Kasus Indonesia memang negara “late corner” dalam proses industrialisasi di kawasan Pasifik, dan dibandingkan beberapa negara di kawasan ini kemampuan teknologinya juga masih kolot. Menurut PECC dalam laporannya berjudul “Pasific Science and Technology Profit, menyimpulkan bahwa Indonesia dari segi pengeluaran R&D (Research and Design) sebagai persentase PDB, tergolong masih sangat kurang (Susastro, 1992:31).
Selanjutnya, dipaparkan bahwa Indonesia bersama dengan Filipina berada di peringkat terbawah, adalah sekitar 0,12 persen saja untuk tahun 1987. Sedangkan Malaysia, Singapura dan Cina persentasenya mendekati 1 persen, di Korea mendekati 2 %, bahkan Amerika dan Jepang jauh diatas 2 persen.
Dari segi jumlah ilmuan dan insiyur, Indonesia juga berada pada peringkat terbawah, adalah hanya 4 orang per 10.000, dibandingkan dengan 15 orang di Korea, 18 orang di Taiwan, 23 orang di Singapura, 34 orang di Jepang dan 40 orang di Amerika.
Berdasarkan data perbandingan tersebut, indikasi kecerdikan harus menitikberatkan perhatian yang lebih bagi upaya untuk mengkreasi inovasi-penemuan teknologi, melalui tahapan mempelajari proses akuisisi dan peningkatkan kemampuan teknologi yang telah dikuasai.
Seperti pengalaman negara-negara lain yang telah melalui berbagai tahapan pembangunan hingga pada tahap industrialisasi, maka Indonesia juga mengandalkan teknologi dalam industrinya untuk memelihara momentum pembangunan ekonomi dengan tingkat pertumbuhan diatas 5 % pertahunnya 1. Masuknya teknologi ke Indonesia sudah dimulai sejak diundangkannya UUPMA (UU No. 1 tahun 1967, yang diperbarui dengan PP.No. 20 tahun 1994). Dengan tunjangan UU ihwal Hak Paten (Property Right) dan UU Perlindungan Hak Cipta (Intelectual Right), maka banyak perusahaan multinasional dan ajaib yang memakai, menggunakan dan berbagi teknologi dalam menghasilkan aneka macam produk industri.
Dalam hal merebaknya teknologi industri masuk ke Indonesia, Hiroshi Kakazu (1990: 66) menyatakan bahwa transfernya dapat melalui :
Dalam bentuk equity participation dalam rangka joint operation aggrement, know – how aggrement, kontrak-kontrak pembelian mesin-mesin, trade fair dan aneka macam lokakarya (Lubis, 1987: 5 dan 9). Sebagai salah satu negara berkembang yang banyak membutuhkan dana bagi pembiayaan pembangunan, maka Indonesia seringkali “dicurigai” melaksanakan eksploitasi sumber alamnya secara besar-besaran, alasannya tunjangan kemajuan teknologi dan besarnya tingkat kebutuhan Industri-industri yang berkembang pesat secara kuantitif dan berskala besar.
Berdasarkan hasil studi empiris yang pernah dilakukan oleh Magrath dan Arens pada tahun 1987 (Prasetiantono, di dalam Sudjana dan Burhan (ed.), 1996: 95), diperkirakan bahwa balasan erosi tanah yang terjadi di Jawa nilai kerugian yang ditimbulkannya telah mencapai 0,5 % dari GDP, dan lebih besar lagi kalau diperhitungkan kerusakan lingkungan di Kalimantan akibat kebakaran hutan, polusi di Jawa, dan terkurasnya kandungan sumber daya tanah di Jawa.
Masalah prioritas model teknologi (iptek) apakah kompetitif (competitive) atau komparalif (comparative), teknokrat yang diwakili Widjojo Nitisastro cs dan Sumilro Djojohadikusumo, mengurutnya atas dasar teknik Delphi. Sedangkan B. J. habibie (Dewan Riset Nasional) merangkainya dengan konsep matriks (Anwar, Ibrahim M., 1987).
Terlepas dari banyak sekali keberhasilan pembangunan yang disumbangkan oleh teknologi dan sektor indusri di Indonesia, sesungguhnya telah terjadi kemerosotan sumber daya alam dan peningkatan pencemaran lingkungan, khususnya pada kota-kota yang sedang berkembang mirip Gresik, Surabaya, Jakarta, Bandung Lhoksumawe, Medan, dan sebagainya. Bahkan hampir seluruh daerah di Jawa telah ikut mengalami peningkatan suhu udara, sehingga banyak penduduk yang mencicipi kegerahan walaupun di tempat tersebut tergolong berhawa sejuk dan tidak pesat industrinya.
Berkaitan dengan pernyataan tersebut, Amsyari (Sudjana dan Burhan (ed.), 1996:104), mencatat keadaaan lingkungan di beberapa kota di Indonesia, yakni:
Terjadinya penurunan kualitas air permukaan di sekitar kawasan-tempat industri. Konsentrasi materi pencemar yang berbahaya bagi kesehatan penduduk mirip merkuri, kadmium, timah hitam, pestisida, pcb, meningkat tajam dalam kandungan air permukaan dan biota airnya.
Kelangkaan air tawar semakin terasa, khususnya di ekspresi dominan kemarau, sedangkan di isu terkini penghujan cenderung terjadi banjir yang melanda banyak tempat yang berakibat merugikan balasan kondisi ekosistemnya yang telah rusak.
Temperatur udara maksimal dan minimal sering berubah-ubah, bahkan temperatur tertinggi di beberapa kola mirip Jakarta sudah mencapai 37 derajat celcius. Terjadi peningkatan konsentrasi pencemaran udara mirip CO, NO2r S02, dan debu. Sumber daya alam yang dimiliki bangsa Indonesia terasa semakin menipis, seperti minyak bumi dan batubara yang diperkirakan akan habis pada tahun 2020. Luas hutan Indonsia semakin sempit akhir tidak terkendalinya perambahan yang disengaja atau oleh bencana kebakaran. Kondisi hara tanah semakin tidak subur, dan lahan pertanian semakin memyempit dan mengalami pencemaran.
Berbagai masalah yang telah timbul atas kelalaian kita terhadap lingkungan yang diakibatkan kurangnya kesadaran kita. Tetapi dari sekian banyak persoalan yang telah menerpa masyarakat tidak mencari solusi hanya mampu menggerutu dan mengeluh. Dengan banyaknya problem yang telah timbul seharusnya masyarakat menemukan titik temu antara pokok permasalahan dengan jalan keluarnya.
Danau TobaJika kita ingin menyelamatkan lingkungan hidup, maka perlu adanya itikad yang berpengaruh dan kesamaan persepsi dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pengelolaan lingkungan hidup dapatlah diartikan sebagai perjuangan secar sadar untuk memelihara atau memperbaiki mutu lingkungan agar kebutuhan dasar kita dapat terpenuhi dengan sebaik-baiknya (Soemarwoto, 1991: 73).
Memang manusia memiliki kemampuan pembiasaan yang tinggi terhadap lingkungannya, secara hayati ataupun kultural, contohnya insan mampu menggunakan air yang tercemar dengan rekayasa teknologi (daur ulang) berupa salinisasi, bahkan produknya dapat menjadi komoditas ekonomi. Tetapi untuk mendapatkan mutu lingkungan hidup yang baik, agar dapat dimanfaatkan secara optimal maka manusia diharuskan untuk mampu memperkecil resiko kerusakan lingkungan.
Dengan demikian, pengelolaan lingkungan dilakukan bertujuan agar manusia tetap “suvival”. Hakekatnya insan telah “survival” sejak awal peradaban sampai kini, tetapi peralihan dan revolusi besar yang melanda umat manusia akibat kemajuan pembangunan, teknologi, iptek, dan industri, serta revolusi sibernitika, menghantarkan manusia untuk tetap mampu menggreskan sejarah kehidupan, balasan hubungan kemajuan yang bersinggungan dengan lingkungan hidupnya. Karena kalau tidak bisa menghadapi aneka macam tantangan yang muncul dari permasalah lingkungan, maka kemajuan yang telah dicapai terutama berkat ke-magnitude-an teknologi akan mengancam kelangsungan hidup insan.
Tidak semua kalangan masyarakat yang hirau atas banyaknya duduk perkara yang timbul terhadap lingkungan. Terdapat kalangan yang peduli atas lingkungan juga dengan banyak sekali solusi dan ilham kreatif yang mereka lahirkan. Salah satunya Workshop Pendidikan Lingkungan Hidup sebagai upaya meningkatkan kesadaran lingkungan. Upaya ini merupakan salah satu jalan keluar yang dirintis oleh Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan Lembaga Penelitian Universitas Negeri Semarang (UNNES) . Menyelenggarakan Workshop Pendidikan Lingkungan Hidup, bagi kalangan Guru SMP Negeri di Kota Semarang dan sekitarnya. Workshop ini diselenggarakan dengan tujuan sebagai upaya meningkatkan kemampuan pengetahuan, kesadaran, budbahasa, disiplin, dan akal pekerti masyarakat terhadap lingkungan hidup.
Konperensi PBB tentang lingkungan Hidup di Stockholm pada tahun 1972, telah menetapkan tanggal 5 Juni setiap tahunnya untuk diperingati sebagai Hari lingkungan Hidup Sedunia. Kesepakatan ini berlangsung didorong oleh kerisauan balasan tingkat kerusakan lingkungan yang sudah sangat memprihatinkan.
Di Indonesia perhatian tentang lingkungan hidup telah dilakukan sejak tahun 1960-an. Tonggak pertama sejarah wacana permasalahan lingkungan hidup dipancangkan melalui seminar ihwal Pengelolaan lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional yang diselenggarakan di Universitas Padjajaran pada tanggal 15 – 18 Mei 1972. Hasil yang dapat diperoleh dari pertemuan itu ialah terkonsepnya pengertian umum permasalahan lingkungan hidup di Indonesia. Dalam hal ini, perhatian terhadap perubahan iklim, peristiwa geologi yang bersifat mengancam kepunahan mahluk hidup mampu digunakan sebagai petunjuk munculnya permasalahan lingkungan hidup.
Pada saat itu, pencemaran oleh industri dan limbah rumah tangga belumlah dipermasalahkan secara khusus kecuali di kota-kota besar. Saat ini, dilema lingkungan hidup tidak hanya berafiliasi dengan gejala-gejala perubahan alam yang sifatnya evolusioner, tetapi juga menyangkut pencemaran yang ditimbulkan oleh limbah industri dan keluarga yang menghasilkan berbagai rupa barang dan jasa sebagai pendorong kemajuan pembangunan diberbagai bidang.
Pada Pelita V, aneka macam upaya pengendalian pencemaran lingkungan hidup dilakukan dengan memperkuat hukuman dan memperluas jangkauan peraturan-peraturan perihal pencemaran lingkungan hidup, dengan lahirnya Keppres 77/1994 ihwal Organisasi Bapedal sebagai contoh bagi pembentukan Bapeda/Wilayah di tingkat Propinsi, yang juga bermanfaat bagi arah pembentukan Bapeda/Daerah. Peraturan ini dikeluarkan untuk memperkuat Undang-Undang Nomor 4 tahun 1982 perihal Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dianggap perlu untuk diperbaharui (Kusumaatmaja, dalam Sudjana dan Burhan (ed,), 1996: 8).
Berdasarkan Strategi Penanganan Limbah tahun 1993/1994, yang ditetapkan oleh pemerintah, maka proses pengolahan selesai buangan sudah harus dimulai pada tahap pemilihan bahan baku, proses produksi, sampai pengolahan akhir limbah buangan (Lampiran Pidato Presiden RI, 1994 : II/27). Langkah yang ditempuh untuk mendukung kebijaksanaan ini, ditempuh dengan pembangunan Pusat Pengelolaan Limbah Industri Bahan Berbahaya dan Beracun (PPLI-B3), di Cileungsi Jawa Barat, yang pertama di Indonesia. Pendirian unit pengolahan limbah ini juga diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 1994 wacana Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun.
Disamping itu, untuk mengembangkan tanggung jawab bersama dalam menanggulangi dilema pencemaran sungai terutama dalam upaya peningkatan kualitas air, dilaksanakan Program Kali Bersih (PROKASIH), yang memprioritaskan penanganan lingkungan pada 33 sungai di 13 Propinsi. Upaya pengendalian pencemaran lingkungan hidup ini, ternyata juga menghasilkan lapangan kerja dan kesempatan berusaha gres di banyak sekali kota dan sektor pembangunan.
Dari uraian tersebut diatas jelaslah bagi kita bahwa dalam menyikapi terjadinya pencemaran lingkungan baik balasan teknologi, perubahan lingkungan, industri dan upaya-upaya yang dilakukan dalam pembanguan ekonomi, dibutuhkan itikad yang luhur dalam tindakan dan prilaku setiap orang yang peduli akan kelestarian lingkungan hidupnya. walaupun telah ditetapkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1982, PP No. 19 tahun 1994 dan Keppres No.7 tahun 1994 yang berafiliasi dengan pengelolaan lingkungan, bila tidak ada kesamaan persepsi dan kesadaran dalam pengelolaan lingkungan hidup mak banyak sekali upaya pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat tidak akan dapat dinikmati secara damai dan kondusif, karena kekhawatiran akan peristiwa dari imbas negatif pencemaran lingkungan.
Hal yang lebih penting sesungguhnya yakni niat dan kemauan untuk menjaga kelestarian dan keseimbangan lingkungan hidup. Sebaik atau seluarbiasa apapun ilham yang terlahir tetapi jikalau tidak ada niat semua bakal sia-sia.
Teknologi memberikan kemajuan bagi industri baja, industri kapal maritim, kereta api, industri kendaraan beroda empat, yang memperkaya peradaban insan.. Teknologi juga bisa menghasilkan welirang dioksida, karbon dioksida, CFC, dan gas-gas buangan lain yang mengancam kelangsungan hidup manusia akhir memanasnya bumi balasan efek “rumah kaca”.
Teknologi yang diandalkan sebagai istrumen utama dalam “revolusi hijau” mampu meningkatkan hasil pertanian,- alasannya adanya bibit unggul, bermacam jenis pupuk yang bersifat komplemen, pestisida dan insektisida. Dibalik itu, teknologi yang sama juga menghasilkan aneka macam jenis racun yang berbahaya bagi insan dan lingkungannya, bahkan balasan rutinnya dipakai berbagi jenis pestisida ataupun insektisida bisa memperkuat daya tahan hama tananam misalnya wereng dan kutu loncat.
Teknologi juga memberi rasa kondusif dan kenyamanan bagi insan balasan bisa menyediakan berbagai kebutuhan mirip tabung gas kebakaran, alat-alat pendingin (Iemari es dan AC), banyak sekali jenis aroma parfum dalam kemasan yang menawan, atau abat anti nyamuk yang simpel untuk disemprotkan, dan sebagainya. Serangkai dengan proses tersebut, ternyata CFC (chlorofluorocarbon) dan tetrafluoroethylene polymer yang dipakai justru mempunyai donasi bagi menipisnya lapisan ozone di stratosfer.
Teknologi memungkinkan negara-negara tropis (terutama negara berkembang) untuk memanfaatkan kekayaan hutan alamnya dalam rangka meningkatkan sumber devisa negara dan berbagai pembiayaan pembangunan, tetapi balasan yang ditimbulkannya merusak hutan tropis sekaligus banyak sekali jenis flora berkhasiat obat dan bermacam-macam jenis fauna yang langka.
Kemajuan Teknologi
Bahkan balasan kemajuan teknologi, kala sibernitika yang mengglobal mampu dikomsumsi oleh negara-negara miskin sekalipun alasannya adalah kemampuan komputer sebagai intrumen gosip yang tidak memiliki batas ruang. Dalam hal ini, jaringan Internet yang dapat diakses dengan biaya yang tidak mahal menghilangkan titik-titik pemisah yang diakibatkan oleh jarak yang saling berjauhan. Kemanjuan teknologi sibernitika ini meyakini ekonom Peter Drucker (Toruan, dalam Jakob Oetama (ep.) 1999:35, bahwa kemajuan yang telah dicapai oleh negara maju akan mampu disusul oleh negara-negara berkembang, terutama oleh menyatunya negara maju dengan negara berkembang dalam blok perdagangan.
Kasus Indonesia memang negara “late corner” dalam proses industrialisasi di kawasan Pasifik, dan dibandingkan beberapa negara di kawasan ini kemampuan teknologinya juga masih kolot. Menurut PECC dalam laporannya berjudul “Pasific Science and Technology Profit, menyimpulkan bahwa Indonesia dari segi pengeluaran R&D (Research and Design) sebagai persentase PDB, tergolong masih sangat kurang (Susastro, 1992:31).
Selanjutnya, dipaparkan bahwa Indonesia bersama dengan Filipina berada di peringkat terbawah, adalah sekitar 0,12 persen saja untuk tahun 1987. Sedangkan Malaysia, Singapura dan Cina persentasenya mendekati 1 persen, di Korea mendekati 2 %, bahkan Amerika dan Jepang jauh diatas 2 persen.
Dari segi jumlah ilmuan dan insiyur, Indonesia juga berada pada peringkat terbawah, adalah hanya 4 orang per 10.000, dibandingkan dengan 15 orang di Korea, 18 orang di Taiwan, 23 orang di Singapura, 34 orang di Jepang dan 40 orang di Amerika.
Berdasarkan data perbandingan tersebut, indikasi kecerdikan harus menitikberatkan perhatian yang lebih bagi upaya untuk mengkreasi inovasi-penemuan teknologi, melalui tahapan mempelajari proses akuisisi dan peningkatkan kemampuan teknologi yang telah dikuasai.
Seperti pengalaman negara-negara lain yang telah melalui berbagai tahapan pembangunan hingga pada tahap industrialisasi, maka Indonesia juga mengandalkan teknologi dalam industrinya untuk memelihara momentum pembangunan ekonomi dengan tingkat pertumbuhan diatas 5 % pertahunnya 1. Masuknya teknologi ke Indonesia sudah dimulai sejak diundangkannya UUPMA (UU No. 1 tahun 1967, yang diperbarui dengan PP.No. 20 tahun 1994). Dengan tunjangan UU ihwal Hak Paten (Property Right) dan UU Perlindungan Hak Cipta (Intelectual Right), maka banyak perusahaan multinasional dan ajaib yang memakai, menggunakan dan berbagi teknologi dalam menghasilkan aneka macam produk industri.
Dalam hal merebaknya teknologi industri masuk ke Indonesia, Hiroshi Kakazu (1990: 66) menyatakan bahwa transfernya dapat melalui :
- Science aggrement,
- Technical assistence and coopteration,
- Turnkey project,
- Foreign direct invesment, dan
- Purchase of capital goods.
Dalam bentuk equity participation dalam rangka joint operation aggrement, know – how aggrement, kontrak-kontrak pembelian mesin-mesin, trade fair dan aneka macam lokakarya (Lubis, 1987: 5 dan 9). Sebagai salah satu negara berkembang yang banyak membutuhkan dana bagi pembiayaan pembangunan, maka Indonesia seringkali “dicurigai” melaksanakan eksploitasi sumber alamnya secara besar-besaran, alasannya tunjangan kemajuan teknologi dan besarnya tingkat kebutuhan Industri-industri yang berkembang pesat secara kuantitif dan berskala besar.
Berdasarkan hasil studi empiris yang pernah dilakukan oleh Magrath dan Arens pada tahun 1987 (Prasetiantono, di dalam Sudjana dan Burhan (ed.), 1996: 95), diperkirakan bahwa balasan erosi tanah yang terjadi di Jawa nilai kerugian yang ditimbulkannya telah mencapai 0,5 % dari GDP, dan lebih besar lagi kalau diperhitungkan kerusakan lingkungan di Kalimantan akibat kebakaran hutan, polusi di Jawa, dan terkurasnya kandungan sumber daya tanah di Jawa.
Masalah prioritas model teknologi (iptek) apakah kompetitif (competitive) atau komparalif (comparative), teknokrat yang diwakili Widjojo Nitisastro cs dan Sumilro Djojohadikusumo, mengurutnya atas dasar teknik Delphi. Sedangkan B. J. habibie (Dewan Riset Nasional) merangkainya dengan konsep matriks (Anwar, Ibrahim M., 1987).
Terlepas dari banyak sekali keberhasilan pembangunan yang disumbangkan oleh teknologi dan sektor indusri di Indonesia, sesungguhnya telah terjadi kemerosotan sumber daya alam dan peningkatan pencemaran lingkungan, khususnya pada kota-kota yang sedang berkembang mirip Gresik, Surabaya, Jakarta, Bandung Lhoksumawe, Medan, dan sebagainya. Bahkan hampir seluruh daerah di Jawa telah ikut mengalami peningkatan suhu udara, sehingga banyak penduduk yang mencicipi kegerahan walaupun di tempat tersebut tergolong berhawa sejuk dan tidak pesat industrinya.
Berkaitan dengan pernyataan tersebut, Amsyari (Sudjana dan Burhan (ed.), 1996:104), mencatat keadaaan lingkungan di beberapa kota di Indonesia, yakni:
Terjadinya penurunan kualitas air permukaan di sekitar kawasan-tempat industri. Konsentrasi materi pencemar yang berbahaya bagi kesehatan penduduk mirip merkuri, kadmium, timah hitam, pestisida, pcb, meningkat tajam dalam kandungan air permukaan dan biota airnya.
Kelangkaan air tawar semakin terasa, khususnya di ekspresi dominan kemarau, sedangkan di isu terkini penghujan cenderung terjadi banjir yang melanda banyak tempat yang berakibat merugikan balasan kondisi ekosistemnya yang telah rusak.
Temperatur udara maksimal dan minimal sering berubah-ubah, bahkan temperatur tertinggi di beberapa kola mirip Jakarta sudah mencapai 37 derajat celcius. Terjadi peningkatan konsentrasi pencemaran udara mirip CO, NO2r S02, dan debu. Sumber daya alam yang dimiliki bangsa Indonesia terasa semakin menipis, seperti minyak bumi dan batubara yang diperkirakan akan habis pada tahun 2020. Luas hutan Indonsia semakin sempit akhir tidak terkendalinya perambahan yang disengaja atau oleh bencana kebakaran. Kondisi hara tanah semakin tidak subur, dan lahan pertanian semakin memyempit dan mengalami pencemaran.
Berbagai masalah yang telah timbul atas kelalaian kita terhadap lingkungan yang diakibatkan kurangnya kesadaran kita. Tetapi dari sekian banyak persoalan yang telah menerpa masyarakat tidak mencari solusi hanya mampu menggerutu dan mengeluh. Dengan banyaknya problem yang telah timbul seharusnya masyarakat menemukan titik temu antara pokok permasalahan dengan jalan keluarnya.
Danau TobaJika kita ingin menyelamatkan lingkungan hidup, maka perlu adanya itikad yang berpengaruh dan kesamaan persepsi dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pengelolaan lingkungan hidup dapatlah diartikan sebagai perjuangan secar sadar untuk memelihara atau memperbaiki mutu lingkungan agar kebutuhan dasar kita dapat terpenuhi dengan sebaik-baiknya (Soemarwoto, 1991: 73).
Memang manusia memiliki kemampuan pembiasaan yang tinggi terhadap lingkungannya, secara hayati ataupun kultural, contohnya insan mampu menggunakan air yang tercemar dengan rekayasa teknologi (daur ulang) berupa salinisasi, bahkan produknya dapat menjadi komoditas ekonomi. Tetapi untuk mendapatkan mutu lingkungan hidup yang baik, agar dapat dimanfaatkan secara optimal maka manusia diharuskan untuk mampu memperkecil resiko kerusakan lingkungan.
Dengan demikian, pengelolaan lingkungan dilakukan bertujuan agar manusia tetap “suvival”. Hakekatnya insan telah “survival” sejak awal peradaban sampai kini, tetapi peralihan dan revolusi besar yang melanda umat manusia akibat kemajuan pembangunan, teknologi, iptek, dan industri, serta revolusi sibernitika, menghantarkan manusia untuk tetap mampu menggreskan sejarah kehidupan, balasan hubungan kemajuan yang bersinggungan dengan lingkungan hidupnya. Karena kalau tidak bisa menghadapi aneka macam tantangan yang muncul dari permasalah lingkungan, maka kemajuan yang telah dicapai terutama berkat ke-magnitude-an teknologi akan mengancam kelangsungan hidup insan.
Tidak semua kalangan masyarakat yang hirau atas banyaknya duduk perkara yang timbul terhadap lingkungan. Terdapat kalangan yang peduli atas lingkungan juga dengan banyak sekali solusi dan ilham kreatif yang mereka lahirkan. Salah satunya Workshop Pendidikan Lingkungan Hidup sebagai upaya meningkatkan kesadaran lingkungan. Upaya ini merupakan salah satu jalan keluar yang dirintis oleh Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan Lembaga Penelitian Universitas Negeri Semarang (UNNES) . Menyelenggarakan Workshop Pendidikan Lingkungan Hidup, bagi kalangan Guru SMP Negeri di Kota Semarang dan sekitarnya. Workshop ini diselenggarakan dengan tujuan sebagai upaya meningkatkan kemampuan pengetahuan, kesadaran, budbahasa, disiplin, dan akal pekerti masyarakat terhadap lingkungan hidup.
Konperensi PBB tentang lingkungan Hidup di Stockholm pada tahun 1972, telah menetapkan tanggal 5 Juni setiap tahunnya untuk diperingati sebagai Hari lingkungan Hidup Sedunia. Kesepakatan ini berlangsung didorong oleh kerisauan balasan tingkat kerusakan lingkungan yang sudah sangat memprihatinkan.
Di Indonesia perhatian tentang lingkungan hidup telah dilakukan sejak tahun 1960-an. Tonggak pertama sejarah wacana permasalahan lingkungan hidup dipancangkan melalui seminar ihwal Pengelolaan lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional yang diselenggarakan di Universitas Padjajaran pada tanggal 15 – 18 Mei 1972. Hasil yang dapat diperoleh dari pertemuan itu ialah terkonsepnya pengertian umum permasalahan lingkungan hidup di Indonesia. Dalam hal ini, perhatian terhadap perubahan iklim, peristiwa geologi yang bersifat mengancam kepunahan mahluk hidup mampu digunakan sebagai petunjuk munculnya permasalahan lingkungan hidup.
Pada saat itu, pencemaran oleh industri dan limbah rumah tangga belumlah dipermasalahkan secara khusus kecuali di kota-kota besar. Saat ini, dilema lingkungan hidup tidak hanya berafiliasi dengan gejala-gejala perubahan alam yang sifatnya evolusioner, tetapi juga menyangkut pencemaran yang ditimbulkan oleh limbah industri dan keluarga yang menghasilkan berbagai rupa barang dan jasa sebagai pendorong kemajuan pembangunan diberbagai bidang.
Pada Pelita V, aneka macam upaya pengendalian pencemaran lingkungan hidup dilakukan dengan memperkuat hukuman dan memperluas jangkauan peraturan-peraturan perihal pencemaran lingkungan hidup, dengan lahirnya Keppres 77/1994 ihwal Organisasi Bapedal sebagai contoh bagi pembentukan Bapeda/Wilayah di tingkat Propinsi, yang juga bermanfaat bagi arah pembentukan Bapeda/Daerah. Peraturan ini dikeluarkan untuk memperkuat Undang-Undang Nomor 4 tahun 1982 perihal Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dianggap perlu untuk diperbaharui (Kusumaatmaja, dalam Sudjana dan Burhan (ed,), 1996: 8).
Berdasarkan Strategi Penanganan Limbah tahun 1993/1994, yang ditetapkan oleh pemerintah, maka proses pengolahan selesai buangan sudah harus dimulai pada tahap pemilihan bahan baku, proses produksi, sampai pengolahan akhir limbah buangan (Lampiran Pidato Presiden RI, 1994 : II/27). Langkah yang ditempuh untuk mendukung kebijaksanaan ini, ditempuh dengan pembangunan Pusat Pengelolaan Limbah Industri Bahan Berbahaya dan Beracun (PPLI-B3), di Cileungsi Jawa Barat, yang pertama di Indonesia. Pendirian unit pengolahan limbah ini juga diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 1994 wacana Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun.
Disamping itu, untuk mengembangkan tanggung jawab bersama dalam menanggulangi dilema pencemaran sungai terutama dalam upaya peningkatan kualitas air, dilaksanakan Program Kali Bersih (PROKASIH), yang memprioritaskan penanganan lingkungan pada 33 sungai di 13 Propinsi. Upaya pengendalian pencemaran lingkungan hidup ini, ternyata juga menghasilkan lapangan kerja dan kesempatan berusaha gres di banyak sekali kota dan sektor pembangunan.
Dari uraian tersebut diatas jelaslah bagi kita bahwa dalam menyikapi terjadinya pencemaran lingkungan baik balasan teknologi, perubahan lingkungan, industri dan upaya-upaya yang dilakukan dalam pembanguan ekonomi, dibutuhkan itikad yang luhur dalam tindakan dan prilaku setiap orang yang peduli akan kelestarian lingkungan hidupnya. walaupun telah ditetapkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1982, PP No. 19 tahun 1994 dan Keppres No.7 tahun 1994 yang berafiliasi dengan pengelolaan lingkungan, bila tidak ada kesamaan persepsi dan kesadaran dalam pengelolaan lingkungan hidup mak banyak sekali upaya pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat tidak akan dapat dinikmati secara damai dan kondusif, karena kekhawatiran akan peristiwa dari imbas negatif pencemaran lingkungan.
Hal yang lebih penting sesungguhnya yakni niat dan kemauan untuk menjaga kelestarian dan keseimbangan lingkungan hidup. Sebaik atau seluarbiasa apapun ilham yang terlahir tetapi jikalau tidak ada niat semua bakal sia-sia.
0 Response to "Upaya Peningkatan Kesadaran Terhadap Lingkungan"
Post a Comment